INDAHNYA BERAKHLAK
MAHALNYA NILAI WAKTU
"Sahabat, Banyakkanlah membaca Al-Quran. Janganlah terlalu memikirkan waktu kita yang sibuk. Sesungguhnya, bukan kita yang atur waktu, tapi Allah"
Tuesday 17 November 2015
Monday 9 November 2015
ADAB MENUNTUT ILMU
Bismillahirrahmaanirrahim
Rasulullah SAW telah menerangkan tentang Islam, termasuk di dalamnya masalah adab. Seorang penuntut ilmu harus menghiasi dirinya dengan adab dan akhlak mulia. Dia harus mengamalkan ilmunya dengan menerapkan akhlak yang mulia, baik terhadap dirinya mahupun kepada orang lain.
Berikut diantara adab-adab yang selayaknya diperhatikan ketika seseorang menuntut ilmu syar’i,
Pertama, Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu
Dalam menuntut ilmu kita harus ikhlas karena Allah Ta’ala dan seseorang tidak akan mendapat ilmu yang bermanfaat jika ia tidak ikhlas karena Allah. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar beribadah hanya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan memurnikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah:5)
Orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap wajah Allah termasuk orang yang pertama kali dipanaskan api neraka untuknya. Rasulallah sallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’i yang semestinya ia lakukan untuk mencari wajah Allah dengan ikhlas, namun ia tidak melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mendapat harumnya aroma surga pada hari kiamat.”(HR. Ahmad)
Kedua, Rajin berdoa kepada Allah Ta’ala, memohon ilmu yang bermanfaat
Hendaknya setiap penuntut ilmu senantiasa memohon ilmu yang bermanfaat kepada AllahTa’ala dan memohon pertolongan kepadaNya dalam mencari ilmu serta selalu merasa butuh kepadaNya.
Rasulallah sallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk selalu memohon ilmu yang bermanfaat kepada Allah Ta’ala dan berlindung kepadaNya dari ilmu yang tidak bermanfaat, karena banyak kaum Muslimin yang justru mempelajari ilmu yang tidak bermanfaat, seperti mempelajari ilmu filsafat, ilmu kalam ilmu hukum sekuler, dan lainnya.
Ketiga, Bersungguh-sungguh dalam belajar dan selalu merasa haus ilmu
Dalam menuntut ilmu syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat dengan izin Allah apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, “ Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang: yaitu (1) orang yang rakus terhdap ilmu dan tidak pernah kenyang dengannya dan (2) orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengannya.” (HR. Al-Baihaqi)
Keempat, Menjauhkan diri dari dosa dan maksiat dengan bertaqwa kepada Allah Ta’ala
Seseorang terhalang dari ilmu yang bermanfaat disebabkan banyak melakukan dosa dan maksiat. Sesungguhnya dosa dan maksiat dapat menghalangi ilmu yang bermanfaat, bahkan dapat mematikan hati, merusak kehidupan dan mendatangkan siksa Allah Ta’ala.
Kelima, Tidak boleh sombong dan tidak boleh malu dalam menuntut ilmu
Sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu masih ada dalam dirinya.
Imam Mujahid mengatakan,
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْىٍ وَلاَ مُسْتَكْبِرٌ
“Dua orang yang tidak belajar ilmu: orang pemalu dan orang yang sombong” (HR. Bukhari secara muallaq)
Keenam, Mendengarkan baik-baik pelajaran yang disampaikan ustadz, syaikh atau guru
Allah Ta’ala berfirman, “… sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hambaKu, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Az-Zumar: 17-18)
Ketujuh, Diam ketika pelajaran disampaikan
Ketika belajar dan mengkaji ilmu syar’i tidak boleh berbicara yang tidak bermanfaat, tanpa ada keperluan, dan tidak ada hubungannya dengan ilmu syar’i yang disampaikan, tidak boleh ngobrol. Allah Ta’ala berfirman, “dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raaf: 204)
Kedelapan, Berusaha memahami ilmu syar’i yang disampaikan
Kiat memahami pelajaran yang disampaikan: mencari tempat duduk yang tepat di hadaapan guru, memperhatikan penjelasan guru dan bacaan murid yang berpengalama. Bersungguh-sungguh untuk mengikat (mencatat) faedah-faedah pelajaran, tidak banyak bertanya saat pelajaran disampaikan, tidak membaca satu kitab kepada banyak guru pada waktu yang sama, mengulang pelajaran setelah kajian selesai dan bersungguh-sungguh mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.
Kesembilan, Menghafalkan ilmu syar’i yang disampaikan
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…” (HR. At-Tirmidzi).
Dalam hadits tersebut Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah Ta’ala agar Dia memberikan cahaya pada wajah orang-orang yang mendengar, memahami, menghafal, dan mengamalkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kita pun diperintahkan untuk menghafal pelajaran-pelajaran yang bersumber dari Al-Quran dan hadits-hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesepuluh, Mengikat ilmu atau pelajaran dengan tulisan
Ketika belajar, seorang penuntut ilmu harus mencatat pelajaran, poin-poin penting, fawaa-id(faedah dan manfaat) dari ayat, hadits dan perkataan para sahabat serta ulama, atau berbagai dalil bagi suatu permasalahan yang dibawa kan oleh syaikh atau gurunya. Agar ilmu yang disampaikannya tidak hilang dan terus tertancap dalam ingatannya setiap kali ia mengulangi pelajarannya. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikatlah ilmu dengan tulisan” (HR. Ibnu ‘Abdil Barr)
Kesebelas, Mengamalkan ilmu syar’i yang telah dipelajari
Menuntut ilmu syar’i bukanlah tujuan akhir, tetapi sebagai pengantar kepada tujuan yang agung, yaitu adanya rasa takut kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, taqwa kepada-Nya, dan mengamalkan tuntutan dari ilmu tersebut. Dengan demikian, barang siapa saja yang menuntut ilmu bukan untuk diamalkan, niscaya ia diharamkan dari keberkahan ilmu, kemuliaan, dan ganjaran pahalanya yang besar.
Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, kemudian ia melupakan dirinya (tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lampu (lilin) yang menerangi manusia, namun membakar dirinya sendiri.” (HR Ath-Thabrani)
Kedua belas, Berusaha mendakwahkan ilmu
Objek dakwah yang paling utama adalah keluarga dan kerabat kita, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6).
Hal yang harus diperhatikan oleh penuntut ilmu, apabila dakwah mengajak manusia ke jalan Allah merupakan kedudukan yang mulia dan utama bagi seorang hamba, maka hal itu tidak akan terlaksana kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu, seorang dapat berdakwah dan kepada ilmu ia berdakwah. Bahkan demi sempurnannya dakwah, ilmu itu harus dicapai sampai batas usaha yang maksimal. Syarat dakwah:
- Aqidah yang benar, seorang yang berdakwah harus meyakini kebenaran ‘aqidah Salaf tentang Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma’ dan Shifat, serta semua yang berkaitan dengan masalah ‘aqidah dan iman.
- Manhajnya benar, memahami Al-quran dan As-sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih.
- Beramal dengan benar, semata-mata ikhlas karena Allah dan ittiba’ (mengikuti) contoh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengadakan bid’ah, baik dalam i’tiqad (keyakinan), perbuatan, atau perkataan.
Referensi:
Adab & Akhlak Penuntut Ilmu karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas
https://www.instagram.com/arifzaqwan/
Adab & Akhlak Penuntut Ilmu karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas
https://www.instagram.com/arifzaqwan/
ADAB DENGAN ORANG TUA
Berdasarkan atsar yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Adabul Mufrad dengan sanad yang shahih, dari Urwah ibnuz Zubeir, bahwa maksud firman-Nya, “Dan Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan,” adalah jangan sampai Kamu menghalangi keduanya dari sesusatu yang mereka sukai.
Oleh: Asy Syaikh Muhammad Jamil Zainu
1. Berbicaralah kamu kepada kedua orang tuamu dengan adab dan janganlah mengucapkan “Ah” kepada mereka, jangan hardik mereka, berucaplah kepada mereka dengan ucapan yang mulia.
2. Selalu taati mereka berdua di dalam perkara selain maksiat, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada sang Khalik.
3. Lemah lembutlah kepada kedua orangtuamu, janganlah bermuka masam serta memandang mereka dengan pandangan yang sinis.
4. Jagalah nama baik, kemuliaan, serta harta mereka. Janganlah engkau mengambil sesuatu tanpa seizin mereka.
5. Kerjakanlah perkara-perkara yang dapat meringankan beban mereka meskipun tanpa diperintah. Seperti melayani mereka, belanja ke warung, dan pekerjaan rumah lainnya, serta bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu.
6. Bermusyawarahlah dengan mereka berdua dalam seluruh kegiatanmu. Dan berikanlah alasan jika engkau terpaksa menyelisihi pendapat mereka.
7. Penuhi panggilan mereka dengan segera dan disertai wajah yang berseri dan menjawab, “Ya ibu, ya ayah”. Janganlah memanggil dengan, “Ya papa, ya mama”, karena itu panggilan orang asing (orang-orang barat maksudnya –pent.).
8. Muliakan teman serta kerabat mereka ketika kedua orang tuamu masih hidup, begitu pula setelah mereka telah wafat.
9. Janganlah engkau bantah dan engkau salahkan mereka berdua. Santun dan beradablah ketika menjelaskan yang benar kepada mereka.
10. Janganlah berbuat kasar kepada mereka berdua, jangan pula engkau angkat suaramu kepada mereka. Diamlah ketika mereka sedang berbicara, beradablah ketika bersama mereka. Janganlah engkau berteriak kepada salah seorang saudaramu sebagai bentuk penghormatan kepada mereka berdua.
11. Bersegeralah menemui keduanya jika mereka mengunjungimu, dan ciumlah kepala mereka.
12. Bantulah ibumu di rumah. Dan jangan pula engkau menunda membantu pekerjaan ibumu.
13. Janganlah engkau pergi jika mereka berdua tidak mengizinkan meskipun itu untuk perkara yang penting. Apabila kondisinya darurat maka berikanlah alasan ini kepada mereka dan janganlah putus komunikasi dengan mereka.
14. Janganlah masuk menemui mereka tanpa izin terlebih dahulu, apalagi di waktu tidur dan istirahat mereka.
15. Jika engkau kecanduan merokok, maka janganlah merokok di hadapan mereka.
16. Jangan makan dulu sebelum mereka makan, muliakanlah mereka dalam (menyajikan) makanan dan minuman.
17. Janganlah engkau berdusta kepada mereka dan jangan mencela mereka jika mereka mengerjakan perbuatan yang tidak engkau sukai.
18. Jangan engkau utamakan istri dan anakmu di atas mereka. Mintalah keridhaan mereka berdua sebelum melakukan sesuatu karena ridha Allah tergantung ridha orang tua. Begitu juga kemurkaan Allah tergantung kemurkaan mereka berdua.
19. Jangan engkau duduk di tempat yang lebih tinggi dari mereka. Jangan engkau julurkan kakimu di hadapan mereka karena sombong.
20. Jangan engkau menyombongkan kedudukanmu di hadapan bapakmu meskipun engkau seorang pejabat besar. Hati-hati, jangan sampai engkau mengingkari kebaikan-kebaikan mereka berdua atau menyakiti mereka walaupun dengan hanya satu kalimat.
21. Jangan pelit dalam memberikan nafkah kepada kedua orang tua sampai mereka mengeluh. Ini merupakan aib bagimu. Engkau juga akan melihat ini terjadi pada anakmu. Sebagaimana engkau memperlakukan orang tuamu, begitu pula engkau akan diperlakukan sebagai orang tua.
22. Banyaklah berkunjung kepada kedua orang tua, dan persembahkan hadiah bagi mereka. Berterimakasihlah atas perawatan mereka serta atas kesulitan yang mereka hadapi. Hendaknya engkau mengambil pelajaran dari kesulitanmu serta deritamu ketika mendidik anak-anakmu.
23. Orang yang paling berhak untuk dimuliakan adalah ibumu, kemudian bapakmu. Dan ketahuilah bahwa surga itu di telapak kaki ibu-ibu kalian.
24. Berhati-hati dari durhaka kepada kedua orang tua serta dari kemurkaan mereka. Engkau akan celaka dunia akhirat. Anak-anakmu nanti akan memperlakukanmu sama seperti engkau memperlakukan kedua orangtuamu.
25. Jika engkau meminta sesuatu kepada kedua orang tuamu, mintalah dengan lembut dan berterima kasihlah jika mereka memberikannya. Dan maafkanlah mereka jika mereka tidak memberimu. Janganlah banyak meminta kepada mereka karena hal itu akan memberatkan mereka berdua.
26. Jika engkau mampu mencukupi rezeki mereka maka cukupilah, dan bahagiakanlah kedua orangtuamu.
27. Sesungguhnya orang tuamu punya hak atas dirimu. Begitu pula pasanganmu (suami/istri) memiliki hak atas dirimu. Maka penuhilah haknya masing-masing. Berusahalah untuk menyatukan hak tersebut apabila saling berbenturan. Berikanlah hadiah bagi tiap-tiap pihak secara diam-diam.
28. Jika kedua orang tuamu bermusuhan dengan istrimu maka jadilah engkau sebagai penengah. Dan pahamkan kepada istrimu bahwa engkau berada di pihaknya jika dia benar, namun engkau terpaksa melakukannya karena menginginkan ridha kedua orang tuamu.
29. Jika engkau berselisih dengan kedua orang tuamu di dalam masalah pernikahan atau perceraian, maka hendaknya kalian berhukum kepada syari’at karena syari’atlah sebaik-baiknya pertolongan bagi kalian.
30. Doa kedua orang itu mustajab baik dalam kebaikan maupun doa kejelekan. Maka berhati-hatilah dari doa kejelekan mereka atas dirimu.
31. Beradablah yang baik kepada orang-orang. Siapa yang mencela orang lain maka orang tersebut akan kembali mencelanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya dengan cara dia mencela bapaknya orang lain, maka orang tersebut balas mencela bapaknya. Dia mencela ibu seseorang, maka orang tersebut balas mencela ibunya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
32. Kunjungilah mereka disaat mereka hidup dan ziarahilah ketika mereka telah wafat. Bershadaqahlah atas nama mereka dan banyaklah berdoa bagi mereka berdua dengan mengucapkan,
“Wahai Rabb-ku ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Waha Rabb-ku, rahmatilah mereka berdua sebagaimana mereka telah merawatku ketika kecil”.
Diterjemahkan dari Kitab Kaifa Nurabbi Auladana.
Pendapat Ulama Tentang Merendahkan Diri di hadapan Orang Tua
Pendapat Ibnu Katsir rahimahullah tentang maksud firman Allah Ta’ala ini adalah berlaku redah hati kepada keduanya. Sedangkan, pendapat Imam al-Qurtubi tentang maksud firman Allat Ta’ala yang berbunyi, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan” ini adalah berlaku kasih, sayang, dan tunduk kepada keduanya, seperti tunduknya seorang rakyat kepada rajanya atau tnduknya seorang budak kepada tuannya. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Sa’id bin Musayyab.
Perintah yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada seroang anak untuk tunduk kepada kedua orang tuanya dengan menggunakan kata “janaah” (Sayap” adalah seperti halnya runduknya sayap burung manakala dia merangkul anak-anaknya. Sedangkan maksud kalimat “adzdzulli” adalah lembut.
Menurut pendapat Imam al-Qurtubi berdasarkan ayat Al-Quran ini, seorang anak harus berlaku secara lembut kepada kedua orang tuanya, baik dalam perkataan, diam, dan cara memandang. Seorang anak tidak boleh memangdang orang tuanya dengan pandangan yang tajam karena pandangan yang seperti ini adalah sebuah pandangan kemarahan.
Dia juga berpendapat bahwa kata “min” yang terdapt dalam ayat “minarrahmah” untuk menjelaskan jenis. Maksudnya, ketundukan seorang anak kepada orang tuanya lahir dari rasa sayang yang ada dalam hatinya, bukannya dengan cara yang dibuat-buat.
Setelah itu, Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk menyayangi dan mendoakan orang tuanya. Menyayanginya sebagaimana halnya mereka dulu menyayangi Anda ketika msih kecil dan mengasihi mereka sebagaimana halnya mereka dulu mengasihi Anda ketika masih kecil.
Ketika Anda masih kecil, Anda tidak tahu apa-apa dan selalu membutuhkan pertolongan kedua orang tuaAnda. Mereka mendahulukan Anda daripada diri mereka sendiri. Anda membuat mereka begadang untuk menjaga Anda. Mereka siap untuk merasa lapar demi membuat Anda kenyang. Mereka rela telanjang agar Anda bisa mengenakan pakaian. Maka dari itu, Anda tidak akan bisa membalas budi kedua orang tua Anda, kecuali dengan cara Anda mengasuh mereka ketika mereka telah lanjut usia, sebagaimana halnya merkea mengasuh Anda ketika kecil. Dalam kondisi umur yang renta ini, orang tua memiliki hak untuk didahulukan dalam segala hal.
Rasulullah Sholallohu’alaihi wa Sallam bersabda:
“Seorang anak tidak akan dapat membalas budi bapaknya, kecuali bila dia mendapatkan bapaknya berada dalam kondisi perbudakan, maka dia beli bapaknya dan kemudian dia merdekakan bapaknya.”
Dalam kitab Mahaasinut-Tawiil, penafsiran al-Qaasimi terhadap firman Allah Ta’ala, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman, adalah lembutkanlah dirimu terhadap mereka dengan cara menyamakan ketundukan anak terhadap orang tua dengan kondisi sayap buruk. Sesunghguhnya burung jika ingin mendarat, dia turunkan sayapnya.
Penafsiran As-Sa’adi rahimahullah terhadap firman Allah Ta’ala,’ “Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak,”adalah berlaku baiklah kepada keduanya dengan menggunakan semua bentuk kebaikan. Baik itu dari segi perkataan maupun dari segi perbuatan karena keduanya adalah yang menjadi sebab bagi keberadaan seroang anak. Rasa sayangnya, perbuatan baiknya serta rasa dekatnya kepadaanaknya, harus ditimpali dengan bakti si anak kepada keduanya.
Maksud firman Allah Ta’ala, “Jika salah saroang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,” adalah, jika keduanya telah mencapai lanjut usia yang berbuat fisik keduanya menjadi lemah, maka keduanya membutuhkan kasih sayang dan perlakukan baik dari anaknya.
Sedangkan, maksud firman Allah Ta’ala, “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’,” adalah sebuah perbuatan aniaya yang berada dalam tingkatan yang paling rendah. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memperingatkan seroang anak untuk tidak melakukan jenis tindakan aniaya yang lainnya. Maksud ayat ini, janganlah Anda menyakiti keduanya dengan jenis tindakan aniaya apa pun.
Lalu maksud firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu membentak mereka” adalah berbicaralah kepada keduanya dengan ucapan yang mereka suakai. Berlaku sopanlah kepada keduanya dan berbicalah kepada keduanya dengan perkataan ynag baik yang membuat hati mereka merasa lega dan yang membuat jiwa mereka merasa tenang. Jenis ucapan yang baik ini tentunya saling berbeda antara astu orang dengan yang lainnya sesuai dengan kondisi, kebiasan, dan masa.
Sedangkan, maksud firman-Nya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap ereka berdua dengan penuh kesayangan,” adalah tunduklah kepada keduanya sebagai betnuk penghormatan dan kasih sayang kepada keduanya dalam upaya mencari pahala, bukan karena kamu merasa takut kepada keduanya dan bukan karena kamu mengharapkan mendapatkan sesuatu yang mereka miliki. Serta, berbagai maksud yang sejenisnya yang membuat seroang hamba tidak akan mendapatkan pahala.
Lalu maksud firman-Nya yang berbunyi, “dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,’adalah doakanlah keduanya agar keduanya mendapatkan rahmat, baik ketika keduanya masih hidup maupun ketika sudah meninggal dunia, sebagai balasan atas pengasuhan keduanya terhadap diri Anda ketika masih kecil. Ayat ini menunukkan bahwa semakin lama masa pengasuhan orang tua terhadap anaknya, maka semakin bertambah hak orang tua yang harus dipenuhi oleh si anak. Begitu pula halnya hak seorang pendidik, yang telah mendidik muridnya dalam masalah agama dan dunia, si anak ini harus membals jasa didikan gurunya tersebut.
Sedangkan, maksud firman-Nya, “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertoba,”adalah, Tuhan kita (Allah Ta’ala) mengetahui semua yang dirahasiakan, baik perkara yang baik maupun perkara yang buruk. Dia tidak menilai perbuatan Anda dan fisik Anda, tetapi yang Dia nilai adalah hti Anda serta berbagai perkara yang baik dan yang butuk yang tersimpan di dalam hati Anda.
Maksud firman-Nya, “Jika kamu orang-orang yang baik,” adalah, jika keinginan dan maksud Anda berbakti kepada kedua orang tua adalah semata-mata untuk mencari keridhaan allah dan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta tidak ada sedikit pun terbetik di dalam hati maksud yang lain.
Kemudian diteruskan dengan firman-Nya, “Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.” Arti dari orang-orang yang bertobat adalah orang-orang yang selalu memohon kepada-nya di setiap waktu, sesungguhnya orang yang selalu menempatkan Allah di dalam hatinya dan yang mengetahui bahwa dia selalu bergantung kepada Allah dan keapda rasa cinta-Nya. Maka, jika dalam suatu saat dia melakukan suatu kesalahan, Allah Ta’ala akan memaafkannya dan mengampunyinya atas suatu kesalahan yang sifatnya insidental, bukan yang berkesinambungan.
ADAB KETIKA BERHIAS DIRI
Dewasa ini,.. Hiasan bagaikan 'priority' dalam setiap masyarakat..Namun,hiasan kini telah disalahgunakan..Ya rasulullah juga sangat mementingkan hiasan dan penampilan diri, baginda sering membawa beg kecil dimana mengandungi kayu sugi,sikat dan sebagainya... baginda bagaikan 'role model' bagi seluruh umat nabi Muhammad ..Namun baginda tidak berlebih-lebihan dalam berhias.. Oleh itu kita mestilah menghargai dan menjaga penampilan diri kerana penampilan bagaikan satu kayu ukur terhadap orang lain tentang persenoliti dan akhlak diri.
1. Adab-adab berhias diri:
(a) menggalakkan amalan mandi;
(b) bersugi atau mengosok gigi;
(c) menyikat rambut;
(d) memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan bulu ari-ari;
(e) menghias muka;
(f) cara berpakaian yang sesuai dengan kehendak syarak.
2. Tujuan berhias diri:
(a) selaras dengan fitrah manusia;
(b) menzahirkan nikmat Allah SWT;
(c) mensyukuri nikmat Allah SWT.
3. Amalan berhias diri yang dilarang:
(a) memakai emas dan sutera tulen bagi lelaki;
(b) berpakaian yang berlawanan jantina;
(c) menyambung rambut;
(d) membuat tatu di badan;
(e) pembedahan anggota untuk kecantikan.
4. Akibat tidak berhias diri:
(a) dibenci oleh Allah SWT kerana pengotor;
(b) mudah dijangkiti penyakit;
(c) maruah diri, keluarga dan agama akan tercemar;
Friday 6 November 2015
ADAB BERMAIN
ADAB BERMAIN
Leka saya melihat anak-anak berkejar-kejaran di taman permainan yang kebetulan di belakang rumah saya. Sebahagian mereka bermain buaian dan jongkang- jongket dengan begitu gembira.Teringat saya zaman ketika saya seusia mereka.Rasanya hidup begitu indah tanpa sebarang masalah.Lamunan saya terhenti tatkala terdengar jeritan dari beberapa kanak-kanak yang mula bertengkar sesama sendiri sebelum dileraikan oleh seorang ibu yang berada ditempat yang sama.Mungkin ada yang tak kena atau juga kanak-kanak ini tidak dilatih agar lebih beradab ketika bermain.
Justeru ingin saya kongsikan pula sedikit ilmu tentang adab bermain agar kita semua dapat hidup dengan lebih bertolak ansur antara satu dengan yang lain.
Leka saya melihat anak-anak berkejar-kejaran di taman permainan yang kebetulan di belakang rumah saya. Sebahagian mereka bermain buaian dan jongkang- jongket dengan begitu gembira.Teringat saya zaman ketika saya seusia mereka.Rasanya hidup begitu indah tanpa sebarang masalah.Lamunan saya terhenti tatkala terdengar jeritan dari beberapa kanak-kanak yang mula bertengkar sesama sendiri sebelum dileraikan oleh seorang ibu yang berada ditempat yang sama.Mungkin ada yang tak kena atau juga kanak-kanak ini tidak dilatih agar lebih beradab ketika bermain.
Justeru ingin saya kongsikan pula sedikit ilmu tentang adab bermain agar kita semua dapat hidup dengan lebih bertolak ansur antara satu dengan yang lain.
1. ADAB SEBELUM BERMAIN
- Bersalam-salaman.
- Memahami peraturan permainan.
- Pilih tempat yang sesuai.
- Pastikan alat permainan selamat.
- Berkerjasama.
- Mengawal emosi.
- Menutup aurat.
- Bersemangat kesukananan
- 3. ADAB SELEPAS BERMAIN
- Menerima keputusan pengadilan.
- Tidak berdendam
- Bermaaf-maafan.
- Menyimpan alat permainan.
- Dapat menambah kenalan.
- Melatih disiplin.
- Mengeratkan hubungan.
- Melahirkan sifat sabar.
- Menyayangi peralatan permainan.
- Memupuk sikap kerjasama dan toleransi.
Saturday 24 October 2015
ADAB MAKAN
BLOG SAYA
Deringan loceng rehat mengejutkan saya yang masih leka menyemak buku latihan anak-anak murid tersayang. Dan begitu juga perut mula terasa lapar dek kerana dari pagi saya masih belum menjamah apa-apa makanan, hanya dapat minum segelas susu sebagai pengalas perut. Saya melangkahkan kaki ke kantin sambil melihat-lihat anak-anak yang gembira menjamu selera. Alhamdulillah, sebahagian besar murid dapat duduk dengan tenang menikmati makanan masing-masing, manakala ada segelintir yang masih terlupa barangkali adab-adab makan yang telah diajar oleh guru lantas terus makan sambil berlari dan bermain. Saya rasa sedikit cuak, kalau-kalau mereka tercekik atau tersedak makanan tersebut lalu saya pun menegur agar mereka lebih beradab ketika makan.
Justeru saya terpanggil untuk berkongsi di halaman ini ADAB-ADAB MAKAN ynag mungkin boleh diaplikasikan bersama insan tersayang.Semoga perkongsian ini memberi manfaat .
1. Adab Sebelum Makan
1. Hendaklah berusaha (memilih untuk) mendapatkan makanan dan minuman yang halal dan baik serta tidak mengandungi unsur-unsur yang haram, berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu...” [Al-Baqarah/2: 172]
2. Meniatkan tujuan dalam makan dan minum untuk menguatkan badan, agar dapat melakukan ibadah, semoga dengan makan dan minum tersebut ia akan diberikan ganjaran oleh Allah.
3. Mencuci kedua tangan sebelum makan, dikhuatiri ada kekotoran.
4. Meletakkan hidangan makanan pada sufrah (alas yang biasa dipakai untuk meletakkan makanan) yang dilapik di atas lantai, tidak diletakkan di atas meja makan, karena hal tersebut lebih mendekatkan pada sikap tawadhu’. Hal ini sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu anhu :
مَا أَكَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلاَ فِيْ سُكُرُّجَةٍ.
“Rasulullah SAW tidak pernah makan di atas meja makan dan tidak pula di atas sukurrujah.” [HR. Al-Bukhari no. 5415]
5. Hendaklah duduk dengan tawadhu’, yaitu duduk di atas kedua lututnya atau duduk di atas punggung kedua kaki atau berposisi dengan kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Hal ini sebagaimana posisi duduk Rasulullah SAW yang didasari dengan sabda beliau SAW :
لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ.
“Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang hamba.” [HR. Al-Bukhari no. 5399]
6. Hendaklah merasa redha dengan makanan yang telah terhidang dan tidak mencela makanan tersebut. Apabila berselera menyantapnya, jika tidak suka meninggalkannya. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
مَا عَابَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعاَماً قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَ إِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.
“Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan, apabila beliau SAW berselera, (menyukai makanan yang telah dihidangkan) beliau memakannya, sedangkan kalau tidak suka (tidak berselera), maka beliau meninggalkannya.”
7. Hendaklah makan bersama-sama dengan orang lain, baik tamu, keluarga, kerabat, anak-anak atau pembantu. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِجْتَمِعُوْا عَلَى طَعاَمِكُمْ يُبَارِكْ لَكُمْ فِيْهِ.
“Berjemaahlah ketika sedang makan, kerana ianya lebih berkat” [HR. Abu Dawud no. 3764, hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 664]
2. Adab Ketika Sedang Makan
1. Memulai makan dengan ucapan basmalah
Berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى، فَإِذَا نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ.
“Apabila salah seorang di antara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismillaah’, dan jika ia lupa untuk mengucapkan bismillaah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan: ‘Bismillaah awwaalahu wa aakhirahu’ (dengan menyebut Nama Allah di awal dan akhirnya).”[4]
2. Hendaklah mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
مَنَ أَكَلَ طَعَاماً وَقَالَ: اَلْحَمْدُ ِِللهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa sesudah selesai makan berdo’a: ‘Alhamdulillaahilladzi ath‘amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin (Segala puji bagi Allah yang telah memberi makanan ini kepadaku dan yang telah memberi rezeki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku),’ niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[5]
3. Hendaklah makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.[6]
Menyedikitkan suapan, memperbanyak kunyahan, makan dengan apa yang terdekat darinya dan tidak memulai makan dari bagian tengah piring, berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ.
“Wahai anak muda, sebutlah Nama Allah (bismillaah), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.”[7]
Dan sabda Rasulullah SAW :
الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوْا مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ.
“Keberkatan itu turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-piring dan janganlah memulai dari bahagian tengahnya.”[8]
4.Hendaklah menjilati jari-jemarinya sebelum dicuci tangannya, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW :
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَاماً فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا.
“Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai makan, maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilatkan (kepada isterinya, anaknya).”[9]
5. Apabila makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya. Berdasarkan hadits:
إِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمِطْ ماَ كَانَ بِهَا مِنْ أَذَى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ.
“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang di antara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bahagian yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan.”[10]
6. Hendaklah tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin. Tidak boleh juga, untuk meniup pada minuman yang masih panas, apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas sebanyak tiga kali sebagaimana hadits Anas bin Malik ;
كَانَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّراَبِ ثَلاَثاً.
“Rasulullah SAW jika minum, beliau bernafas (meneguknya) tiga kali (bernafas di luar gelas).”[11]
Begitu juga hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu:
نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشُّرْبِ.
“Rasulullah SAWmelarang untuk meniup (dalam gelas) ketika minum.”[12]
Adapula hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu:
نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي اْلإِناَءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيْهِ.
“Nabi SAW telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.”[13]
7. Hendaklah menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
"مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ حَسْبُ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ."
“Tidak ada bekas yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya.”[14]
8. Hendaknya memulai makan dan minum dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilakan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki darjat keutamaan. Hal tersebut merupakan sebahagian dari adab yang terpuji. Apabila tidak menerapkan adab tersebut, maka bererti mencerminkan sifat tamak yang tercela.
9. tidak memandang kepada orang di sekitar ketika makan, karena itu akan membuat mereka merasa malu. Namun sebaiknya menundukkan pandangan dari orang-orang yang sedang makan di sekitarnya dan tidak melihat ke arah mereka karena hal itu menyinggung perasaannya atau mengganggunya.
10. Hendaklah tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan, tidak pula membersihkan tangannya dalam piring, dan tidak pula menundukkan kepalanya hingga dekat dengan piring ketika sedang makan, mengunyah makanannya agar tidak jatuh dari mulutnya, juga tidak boleh berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang kotor dan menjijikkan karena hal itu dapat mengganggu teman (ketika sedang makan). Sedangkan mengganggu seorang muslim adalah perbuatan yang haram.
11. Jika makan bersama orang-orang miskin, maka hendaklah mendahulukan orang miskin tersebut. Jika makan bersama rakan - rakan, diperbolehkan untuk bergurau dalam batas-batas yang diperbolehkan. Jika makan bersama orang yang mempunyai pangkat, maka hendaklah berlaku sopan terhadap mereka.
3. Adab Setelah Makan
1. Menghentikan makan dan minum sebelum kenyang, hal ini semata-mata meneladani Rasulullah SAW,
2. Hendaklah menjilati tangannya kemudian barulah mencuci tangan.
3. Mengutip makanan yang jatuh ketika makan, sebagai kesungguhannya dalam menerapkan adab makan dan hal tersebut menunjukkan rasa syukur atas limpahan nikmat yang ada.
4. Membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di celah-celah gigi, dan berkumur untuk membersihkan mulut.
5. Hendaklah memuji Allah Azza wa Jalla setelah selesai makan dan minum. Dan apabila meminum susu, maka ucapkanlah do’a setelah minum, iaitu:
اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَزِدْنَا مِنْهُ.
“Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada apa yang telah Engkau berikankepada kami dan tambahkanlah (rezeki) kepada kami .”
Jika berbuka puasa di rumah seseorang, hendaklah dia berdo’a:
اَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ.
“Telah berbuka di rumahmu orang-orang yang berpuasa, telah makan makananmu orang-orang baik dan semoga para Malaikat bershalawat (berdo’a) untukmu.”[16]
[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H - Maret 2006M]
[1]. sabda Rasulullah SAW:
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَإِذَا َأرَادَ أَنْ يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ
“Apabila Rasulullah SAW hendak tidur sedangkan beliau dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’ terlebih dahulu dan apabila hendak makan, maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” [HR. An-Nasa-i I/50, Ahmad VI/118-119. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 390, shahih]
[2]. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitab Syamaa-il Muhammadiyyah hal. 88 no. 127 memberikan pengertian tentang sukurrujah yaitu piring kecil yang biasa dipakai untuk menempatkan makanan yang sedikit seperti sayuran lalap, selada dan cuka. Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (IX/532) berkata: “Guru kami berkata dalam Syarah at-Tirmidzi, “Sukurrujah itu tidak digunakan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabatnya karena kebiasaan mereka makan bersama-sama dengan menggunakan shahfah yaitu piring besar untuk makan lima orang atau lebih. Dan alasan yang lainnya adalah karena makan dengan sukurrujah itu menjadikan mereka merasa tidak kenyang.”
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3563), Muslim (no. 2064) dan Abu Dawud (no. 3764).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3767), at-Tirmidzi (no. 1858), Ahmad (VI/143), ad-Darimi (no. 2026) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 281). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1965)
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4023), at-Tirmidzi (no. 3458), Ibnu Majah (no. 3285), Ahmad (III/439) dan al-Hakim (I/507, IV/192) serta Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 467). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1984).
[6]. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ، فَِإذَا فَرَغَ لَعِقَهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa makan dengan meng-gunakan tiga jari tangan (kanan) apabila sudah selesai makan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjilatinya.” [HR. Muslim no. 2032 (132), Abu Dawud no. 3848].-penj.
Tiga jari yang dimaksud adalah jari tengah, jari telunjuk dan ibu jari, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fat-hul Baari IX/577.-penj.
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5376), Muslim (no. 2022), Ibnu Majah (no. 3267), ad-Darimi (II/100) dan Ahmad (IV/26).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2031 (129)), Abu Dawud (no. 3772) dan Ibnu Majah (no. 3269). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 379)
[9]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5456) dan Muslim (no. 2031 (129)).
[10]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2033 (135)), Abu Dawud (no. 3845) dan Ahmad (III/301). Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no. 1404), karya Syaikh al-Albani.
[11]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5631), Muslim (no. 2028), at-Tirmidzi (no. 1884), Abu Dawud (no. 3727).
[12]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1887), hasan. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1977), karya Syaikh al-Albani.
[13]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1888), Abu Dawud (no. 3728), Ibnu Majah (no. 3429), (Ahmad I/220, 309). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1977) , karya Syaikh al-Albani.
[14]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/132), Ibnu Majah (no. 3349), al-Hakim (IV/ 121). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1983), karya Syaikh al-Albani rahimahullah.
[15]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3730), at-Tirmidzi (no. 3451) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 286-287). Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahiih Jami’ush Shaghiir (no. 381). Lafazh ini terdapat dalam kitab Ihyaa’ ‘Uluumiddiin (II/6).
[16]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3854) dan Ibnu Majah (no. 1747). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Abi Dawud (II/703).
1. Adab Sebelum Makan
1. Hendaklah berusaha (memilih untuk) mendapatkan makanan dan minuman yang halal dan baik serta tidak mengandungi unsur-unsur yang haram, berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu...” [Al-Baqarah/2: 172]
2. Meniatkan tujuan dalam makan dan minum untuk menguatkan badan, agar dapat melakukan ibadah, semoga dengan makan dan minum tersebut ia akan diberikan ganjaran oleh Allah.
3. Mencuci kedua tangan sebelum makan, dikhuatiri ada kekotoran.
4. Meletakkan hidangan makanan pada sufrah (alas yang biasa dipakai untuk meletakkan makanan) yang dilapik di atas lantai, tidak diletakkan di atas meja makan, karena hal tersebut lebih mendekatkan pada sikap tawadhu’. Hal ini sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu anhu :
مَا أَكَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلاَ فِيْ سُكُرُّجَةٍ.
“Rasulullah SAW tidak pernah makan di atas meja makan dan tidak pula di atas sukurrujah.” [HR. Al-Bukhari no. 5415]
5. Hendaklah duduk dengan tawadhu’, yaitu duduk di atas kedua lututnya atau duduk di atas punggung kedua kaki atau berposisi dengan kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Hal ini sebagaimana posisi duduk Rasulullah SAW yang didasari dengan sabda beliau SAW :
لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ.
“Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang hamba.” [HR. Al-Bukhari no. 5399]
6. Hendaklah merasa redha dengan makanan yang telah terhidang dan tidak mencela makanan tersebut. Apabila berselera menyantapnya, jika tidak suka meninggalkannya. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
مَا عَابَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعاَماً قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَ إِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.
“Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan, apabila beliau SAW berselera, (menyukai makanan yang telah dihidangkan) beliau memakannya, sedangkan kalau tidak suka (tidak berselera), maka beliau meninggalkannya.”
7. Hendaklah makan bersama-sama dengan orang lain, baik tamu, keluarga, kerabat, anak-anak atau pembantu. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِجْتَمِعُوْا عَلَى طَعاَمِكُمْ يُبَارِكْ لَكُمْ فِيْهِ.
“Berjemaahlah ketika sedang makan, kerana ianya lebih berkat” [HR. Abu Dawud no. 3764, hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 664]
2. Adab Ketika Sedang Makan
1. Memulai makan dengan ucapan basmalah
Berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى، فَإِذَا نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ.
“Apabila salah seorang di antara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismillaah’, dan jika ia lupa untuk mengucapkan bismillaah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan: ‘Bismillaah awwaalahu wa aakhirahu’ (dengan menyebut Nama Allah di awal dan akhirnya).”[4]
2. Hendaklah mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
مَنَ أَكَلَ طَعَاماً وَقَالَ: اَلْحَمْدُ ِِللهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa sesudah selesai makan berdo’a: ‘Alhamdulillaahilladzi ath‘amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin (Segala puji bagi Allah yang telah memberi makanan ini kepadaku dan yang telah memberi rezeki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku),’ niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[5]
3. Hendaklah makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.[6]
Menyedikitkan suapan, memperbanyak kunyahan, makan dengan apa yang terdekat darinya dan tidak memulai makan dari bagian tengah piring, berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ.
“Wahai anak muda, sebutlah Nama Allah (bismillaah), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.”[7]
Dan sabda Rasulullah SAW :
الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوْا مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ.
“Keberkatan itu turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-piring dan janganlah memulai dari bahagian tengahnya.”[8]
4.Hendaklah menjilati jari-jemarinya sebelum dicuci tangannya, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW :
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَاماً فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا.
“Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai makan, maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilatkan (kepada isterinya, anaknya).”[9]
5. Apabila makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya. Berdasarkan hadits:
إِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمِطْ ماَ كَانَ بِهَا مِنْ أَذَى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ.
“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang di antara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bahagian yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan.”[10]
6. Hendaklah tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin. Tidak boleh juga, untuk meniup pada minuman yang masih panas, apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas sebanyak tiga kali sebagaimana hadits Anas bin Malik ;
كَانَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّراَبِ ثَلاَثاً.
“Rasulullah SAW jika minum, beliau bernafas (meneguknya) tiga kali (bernafas di luar gelas).”[11]
Begitu juga hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu:
نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشُّرْبِ.
“Rasulullah SAWmelarang untuk meniup (dalam gelas) ketika minum.”[12]
Adapula hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu:
نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي اْلإِناَءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيْهِ.
“Nabi SAW telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.”[13]
7. Hendaklah menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
"مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ حَسْبُ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ."
“Tidak ada bekas yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya.”[14]
8. Hendaknya memulai makan dan minum dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilakan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki darjat keutamaan. Hal tersebut merupakan sebahagian dari adab yang terpuji. Apabila tidak menerapkan adab tersebut, maka bererti mencerminkan sifat tamak yang tercela.
9. tidak memandang kepada orang di sekitar ketika makan, karena itu akan membuat mereka merasa malu. Namun sebaiknya menundukkan pandangan dari orang-orang yang sedang makan di sekitarnya dan tidak melihat ke arah mereka karena hal itu menyinggung perasaannya atau mengganggunya.
10. Hendaklah tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan, tidak pula membersihkan tangannya dalam piring, dan tidak pula menundukkan kepalanya hingga dekat dengan piring ketika sedang makan, mengunyah makanannya agar tidak jatuh dari mulutnya, juga tidak boleh berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang kotor dan menjijikkan karena hal itu dapat mengganggu teman (ketika sedang makan). Sedangkan mengganggu seorang muslim adalah perbuatan yang haram.
11. Jika makan bersama orang-orang miskin, maka hendaklah mendahulukan orang miskin tersebut. Jika makan bersama rakan - rakan, diperbolehkan untuk bergurau dalam batas-batas yang diperbolehkan. Jika makan bersama orang yang mempunyai pangkat, maka hendaklah berlaku sopan terhadap mereka.
3. Adab Setelah Makan
1. Menghentikan makan dan minum sebelum kenyang, hal ini semata-mata meneladani Rasulullah SAW,
2. Hendaklah menjilati tangannya kemudian barulah mencuci tangan.
3. Mengutip makanan yang jatuh ketika makan, sebagai kesungguhannya dalam menerapkan adab makan dan hal tersebut menunjukkan rasa syukur atas limpahan nikmat yang ada.
4. Membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di celah-celah gigi, dan berkumur untuk membersihkan mulut.
5. Hendaklah memuji Allah Azza wa Jalla setelah selesai makan dan minum. Dan apabila meminum susu, maka ucapkanlah do’a setelah minum, iaitu:
اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَزِدْنَا مِنْهُ.
“Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada apa yang telah Engkau berikankepada kami dan tambahkanlah (rezeki) kepada kami .”
Jika berbuka puasa di rumah seseorang, hendaklah dia berdo’a:
اَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ.
“Telah berbuka di rumahmu orang-orang yang berpuasa, telah makan makananmu orang-orang baik dan semoga para Malaikat bershalawat (berdo’a) untukmu.”[16]
[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H - Maret 2006M]
[1]. sabda Rasulullah SAW:
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَإِذَا َأرَادَ أَنْ يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ
“Apabila Rasulullah SAW hendak tidur sedangkan beliau dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu’ terlebih dahulu dan apabila hendak makan, maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” [HR. An-Nasa-i I/50, Ahmad VI/118-119. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 390, shahih]
[2]. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitab Syamaa-il Muhammadiyyah hal. 88 no. 127 memberikan pengertian tentang sukurrujah yaitu piring kecil yang biasa dipakai untuk menempatkan makanan yang sedikit seperti sayuran lalap, selada dan cuka. Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (IX/532) berkata: “Guru kami berkata dalam Syarah at-Tirmidzi, “Sukurrujah itu tidak digunakan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabatnya karena kebiasaan mereka makan bersama-sama dengan menggunakan shahfah yaitu piring besar untuk makan lima orang atau lebih. Dan alasan yang lainnya adalah karena makan dengan sukurrujah itu menjadikan mereka merasa tidak kenyang.”
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3563), Muslim (no. 2064) dan Abu Dawud (no. 3764).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3767), at-Tirmidzi (no. 1858), Ahmad (VI/143), ad-Darimi (no. 2026) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 281). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1965)
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4023), at-Tirmidzi (no. 3458), Ibnu Majah (no. 3285), Ahmad (III/439) dan al-Hakim (I/507, IV/192) serta Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 467). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1984).
[6]. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ، فَِإذَا فَرَغَ لَعِقَهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa makan dengan meng-gunakan tiga jari tangan (kanan) apabila sudah selesai makan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjilatinya.” [HR. Muslim no. 2032 (132), Abu Dawud no. 3848].-penj.
Tiga jari yang dimaksud adalah jari tengah, jari telunjuk dan ibu jari, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fat-hul Baari IX/577.-penj.
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5376), Muslim (no. 2022), Ibnu Majah (no. 3267), ad-Darimi (II/100) dan Ahmad (IV/26).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2031 (129)), Abu Dawud (no. 3772) dan Ibnu Majah (no. 3269). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 379)
[9]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5456) dan Muslim (no. 2031 (129)).
[10]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2033 (135)), Abu Dawud (no. 3845) dan Ahmad (III/301). Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no. 1404), karya Syaikh al-Albani.
[11]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5631), Muslim (no. 2028), at-Tirmidzi (no. 1884), Abu Dawud (no. 3727).
[12]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1887), hasan. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1977), karya Syaikh al-Albani.
[13]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1888), Abu Dawud (no. 3728), Ibnu Majah (no. 3429), (Ahmad I/220, 309). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1977) , karya Syaikh al-Albani.
[14]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/132), Ibnu Majah (no. 3349), al-Hakim (IV/ 121). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1983), karya Syaikh al-Albani rahimahullah.
[15]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3730), at-Tirmidzi (no. 3451) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 286-287). Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahiih Jami’ush Shaghiir (no. 381). Lafazh ini terdapat dalam kitab Ihyaa’ ‘Uluumiddiin (II/6).
[16]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3854) dan Ibnu Majah (no. 1747). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Abi Dawud (II/703).
Wallahu'alam...
Subscribe to:
Posts (Atom)